DIALOGIS.CO – Warga Desa Kota Bangun III, Kecamatan Kota Bangun Darat, tengah larut dalam semangat gotong royong. Bukan tanpa alasan, desa ini sedang bersiap menyambut perhelatan tahunan yang dinanti yaitu Festival Cenil.
Acara yang akan digelar pada 30 April 2025 mendatang ini bukan sekadar pesta kuliner melainkan bentuk kecintaan warga terhadap tradisi lokal yang terus dijaga.
“Festival ini bukan acara biasa. Ini kebanggaan kami,” ujar Kepala Desa Kota Bangun III, Lilik Hendrawanto, Kamis (24/04/2025).
Ia menyebut, hingga pekan terakhir April, persiapan telah mencapai 70 persen. Warga bergotong-royong mempersiapkan semuanya, dari latihan penampilan anak-anak, pendataan pelaku UMKM, hingga penataan area panggung di halaman kantor desa yang akan menjadi pusat kegiatan.
Festival Cenil yang telah digelar sejak 2018 ini sempat terhenti saat pandemi. Kini, pada edisi kelima, antusiasme warga kembali menyala. Para ibu-ibu pembuat cenil sibuk meracik adonan, sementara anak-anak berlatih menari dan bermain musik tradisional setiap sore.
Sebanyak 70 produk cenil ditargetkan meramaikan festival dengan inovasi rasa seperti keju dan cokelat yang berpadu dalam sajian tradisional.
“Kita ingin mereka tumbuh mencintai budayanya sendiri. Persiapan ini bukan hanya untuk tampil, tapi juga proses belajar,” kata Lilik.
Tak hanya kuliner, festival juga menjadi ruang ekspresi seni dan ajang edukatif bagi generasi muda desa.
Selain panggung utama, panitia menyiapkan area UMKM dan spot foto bernuansa tradisional untuk menambah daya tarik pengunjung. Kegiatan akan berlangsung dari pukul 09.00 pagi hingga 16.00 sore, dirancang sebagai pengalaman budaya yang lengkap.
Festival ini turut didukung oleh Dinas Pariwisata dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Kutai Kartanegara. Keduanya dijadwalkan hadir untuk memberikan dukungan teknis dan semangat kepada warga.
Lebih dari sekadar agenda tahunan, Festival Cenil diharapkan bisa menjadi magnet wisata kuliner dan budaya di Kukar. Dengan semangat gotong royong dan cinta terhadap warisan leluhur, Kota Bangun III menunjukkan bahwa pelestarian tradisi bisa berjalan beriringan dengan penguatan ekonomi lokal. (Adv/fk)