DIALOGIS.CO — Ribuan anak di Kalimantan Timur (Kaltim) tercatat belum pernah mengenyam pendidikan formal. Di tengah geliat ekonomi daerah yang ditopang industri tambang dan perkebunan, persoalan ini dinilai sebagai potret ironis yang tak bisa lagi dibiarkan.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2025 mencatat lebih dari 30 ribu anak di Kaltim tidak terdaftar di lembaga pendidikan. Kutai Timur menjadi daerah dengan angka tertinggi, yakni sekitar 9 ribu anak, disusul Kutai Kartanegara dan Samarinda masing-masing 5 ribu dan 4 ribu anak.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi, menyebut ketimpangan itu sebagai kegagalan bersama dalam memastikan pendidikan dasar sebagai hak mutlak setiap warga negara. Ia menilai bahwa persoalan ekonomi menjadi faktor utama, di mana banyak keluarga lebih memprioritaskan bertahan hidup dibanding menyekolahkan anak.
“Biaya hidup di banyak daerah kita masih tinggi. Walaupun biaya sekolah ditanggung negara, banyak anak tetap tidak sekolah karena keluarganya tidak mampu membiayai kebutuhan lain seperti transportasi dan makan,” ujar Darlis.
Karena itu, ia mendorong perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kaltim untuk menyisihkan anggaran tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam bentuk bantuan biaya hidup bagi pelajar dari keluarga kurang mampu. Menurutnya, CSR tidak melulu soal pembangunan fisik, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan kemanusiaan.
“Pendidikan sudah digratiskan lewat APBD, tapi biaya hidup masih menjadi beban. Perusahaan bisa hadir di situ. Bantu siswa lewat transportasi, makan siang, atau bahkan tempat tinggal,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa perusahaan wajib hadir di tengah persoalan sosial, terlebih di wilayah operasional mereka. Sinergi antara dunia usaha dan pemerintah daerah, katanya, menjadi kunci mengatasi masalah pendidikan secara lebih menyeluruh.
“Jangan hanya ambil keuntungan dari daerah, tapi tinggalkan anak-anaknya dalam ketidaktahuan. Kita ingin semua anak Kaltim punya masa depan lewat pendidikan,” tutup Darlis. (Adv/Ina)