DIALOGIS.CO – Menggali sejarah tidak harus selalu dilakukan lewat buku tebal atau seminar akademis. Di Kutai Kartanegara (Kukar), pendekatan baru tengah dilakukan yakni menggabungkan dunia film dengan literasi sejarah melalui keterlibatan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (Diarpus) Kukar dalam proyek Misteri Tuana Tuha.
Menurut Kabid Pelestarian Koleksi Nasional dan Naskah Kuno Diarpus Kukar, Dedi Wahyudi, film bisa menjadi medium literasi yang menarik dan lebih mudah dipahami masyarakat, terutama generasi muda.
“Kalau bisa dikemas lewat sinema, anak-anak kita jadi lebih mudah paham cerita sejarah atau budaya lokal,” ujarnya usai workshop, Rabu (25/06/2025).
Dalam film Misteri Tuana Tuha, Dedi melihat peluang untuk menyisipkan elemen sejarah dan literasi naskah kuno.
Ia mengaku tertarik untuk berdiskusi lebih lanjut dengan pihak produksi agar film ini tidak hanya menyuguhkan hiburan, tapi juga pesan edukatif tentang kekayaan budaya dan naskah tua Kukar.
Ia menyebut bahwa Diarpus telah mengumpulkan arsip dari desa-desa di Kukar dan sedang aktif mencari naskah tulisan tangan yang berusia lebih dari 50 tahun.
“Mungkin saja di cerita film itu ada bagian yang bisa nyambung ke sejarah desa atau ke cerita dari naskah-naskah lama,” jelasnya.
Sinergi antara Diarpus dan tim produksi film menjadi langkah baru dalam strategi pelestarian budaya berbasis audiovisual. Nantinya, film ini juga akan disimpan dan diputar di perpustakaan daerah agar bisa dinikmati oleh masyarakat lebih luas.
“Kalau film ini selesai dan jadi, kita akan jadwalkan untuk diputar juga di perpustakaan. Jadi bukan cuma hiburan, tapi juga jadi koleksi referensi sejarah,” kata Dedi.
Ia berharap kolaborasi ini bisa menumbuhkan semangat berkarya di kalangan anak muda sekaligus menumbuhkan minat baca dan riset sejarah lokal.
Literasi sejarah tidak lagi kaku, tapi bisa disampaikan dalam bentuk yang menyenangkan dan dekat dengan keseharian.
Dengan semangat ini, Diarpus Kukar mempertegas komitmennya sebagai lembaga yang bukan hanya menyimpan, tapi juga menghidupkan kembali warisan budaya melalui pendekatan modern.
“Film bisa jadi pintu masuk. Tapi di baliknya, ada nilai-nilai sejarah yang harus terus kita jaga,” tutup Dedi. (Adv/fk)