DIALOGIS.CO – Menanggapi penonaktifan Kepala Sekolah SMA Negeri 10 Samarinda oleh Dinas Pendidikan Kalimantan Timur, Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Damayanti, menegaskan bahwa proses belajar-mengajar tidak boleh terpengaruh oleh polemik kepemimpinan ataupun konflik antara institusi.
Kasus ini mencuat di tengah ketegangan antara pihak SMA 10 dengan Yayasan Melati, yang turut menyeret peran hukum hingga ke ranah Mahkamah Agung. Penonaktifan kepala sekolah disebut berkaitan dengan sikap tidak kooperatif terhadap penyelesaian konflik.
“Putusan Mahkamah Agung tentu harus dihormati dan dijalankan, namun jangan sampai polemik ini menutup hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang nyaman dan berkelanjutan,” ujar Damayanti.
Ia menyoroti pentingnya manajemen transisi yang bijak dan tidak reaktif. Menurutnya, Dinas Pendidikan harus lebih transparan terkait dasar hukum serta urgensi pengambilan keputusan penonaktifan.
“Apakah kewenangan PLT Kepala Dinas mencakup tindakan strategis seperti pemberhentian kepala sekolah? Itu harus dikaji. Namun yang jelas, kita tidak boleh membiarkan siswa terombang-ambing karena konflik kelembagaan,” tambahnya.
Damayanti menyampaikan bahwa perhatian utama harus kembali pada nasib peserta didik, baik mereka yang masih menjalani pendidikan di kampus lama maupun yang akan menempuh pendidikan di gedung baru SMA 10 di Samarinda Seberang.
“Anak-anak tidak boleh menjadi korban administratif. Pendidikan adalah hak dasar yang tak bisa ditunda karena tarik-menarik kepentingan,” tegasnya.
Damayanti juga mengajak seluruh pihak, baik dinas terkait, yayasan, maupun elemen sekolah, untuk menahan diri dan menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin dan mengedepankan kepentingan siswa.
“Biarkan hukum berjalan, tapi pastikan ruang kelas tetap hidup. Kita tidak boleh kehilangan arah dalam mengurus masa depan generasi muda,” tutupnya. (Adv/Ina)
