Oleh: Fahriansyah – Mahasiswa Fisipol Unikarta Angkatan 2024*
Usia 41 tahun tentu bukan waktu yang singkat bagi sebuah institusi pendidikan. Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), yang berdiri sejak 26 Mei 1984, kini telah lebih dari empat dekade hadir di tengah masyarakat Kutai Kartanegara (Kukar) dan Kalimantan Timur (Kaltim). Namun di balik usia yang matang, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan bersama. Dies Natalis Unikarta yang ke-41 ini, semestinya tak sekadar jadi perayaan simbolik, melainkan momen reflektif untuk menyuarakan harapan dan perbaikan.
Salah satu persoalan krusial yang terus berulang adalah banjir musiman yang melanda lingkungan kampus. Hampir setiap tahun, hujan deras diikuti genangan yang tak kunjung surut. Aktivitas perkuliahan pun kerap terganggu. Mahasiswa, dosen, hingga tenaga kependidikan terpaksa beradaptasi dengan keadaan yang semestinya bisa dicegah. Bukan soal siapa yang disalahkan, tapi soal siapa yang mau bergerak. Sudah saatnya rektorat dan seluruh civitas akademika duduk bersama dan memikirkan solusi permanen. Apakah kita akan terus menunggu sampai aktivitas akademik lumpuh total untuk bertindak?
Belum selesai soal banjir, kini muncul keluhan dari sistem pembayaran food court kampus yang belum lama beroperasi. Bukannya memudahkan, sistem baru ini justru dianggap menyulitkan. Mahasiswa harus memesan makanan di booth, lalu ke kasir utama untuk membayar, dan kembali lagi ke booth untuk menunjukkan bukti pembayaran. Situasi ini tentu tidak efisien, apalagi saat jam makan siang yang padat.
Tak hanya soal alur yang rumit, ada pula biaya administrasi sebesar Rp1.000 yang ditambahkan pada setiap transaksi. Artinya, membeli makanan seharga Rp5.000 bisa menjadi Rp6.000. Ini menjadi beban tersendiri, terutama bagi mahasiswa yang hidup pas-pasan. Ironisnya, pembangunan food court ini kabarnya dibiayai sepenuhnya oleh dana CSR dari salah satu perusahaan, bukan dari dana kampus. Maka muncul pertanyaan wajar: untuk apa pungutan itu diberlakukan, dan ke mana uangnya diarahkan?
Persoalan-persoalan ini tentu tak akan bisa selesai jika hanya disuarakan oleh segelintir mahasiswa. Di sinilah seharusnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unikarta dan BEM di tingkat fakultas berperan aktif. Mahasiswa berharap adanya gerakan nyata dari lembaga perwakilan tertinggi ini, bukan sekadar hadir dalam kegiatan seremonial atau unggahan media sosial. Aspirasi mahasiswa butuh wadah, dan BEM adalah garda terdepan dalam menyampaikan suara itu ke ranah kebijakan kampus.
Refleksi 41 tahun Unikarta seharusnya menjadi ruang dialog yang jujur, terbuka, dan membangun. Kampus adalah rumah bersama. Maka jika ada yang bocor, banjir, atau rusak bukan untuk disembunyikan, melainkan diperbaiki bersama.
Unikarta bisa lebih baik, tapi itu hanya bisa terjadi jika kritik didengar, dan aspirasi ditindaklanjuti. Mari kita jadikan usia ke-41 ini sebagai awal perubahan, bukan sekadar pengingat angka.