Oleh : M. Dudi Hari Saputra
Problem pembangunan di Indonesia bukan karena permasalahan ekonomi, melainkan karena permasalahan birokrasi yang terputus antara pemerintah pusat dan daerah.
Jarak antara pusat dan daerah terjadi karena kepentingan politik, selain juga karena adanya ketidaktahuan policy maker di pusat terkait kondisi lapangan di daerah.
Contoh sederhana; pemerintah pusat menentukan gajih pegawai secara merata, padahal ini tidak adil bagi daerah, karena tiap daerah memiliki kebutuhan gajih pokok yang berbeda-beda.
Dan misal di tempat saya di Kaltim, APBD daerah besar dan memiliki kesanggupan untuk membangun infrastruktur sendiri. namun, karena jalan di kaltim ada jalan nasional, dan anggarannya hanya bisa melalui APBN, maka pembangunan jalan tidak terjadi, sehingga jalan-jalan nasional di Kaltim rusak parah, problemnya klasik: pemerintah pusat menggunakan standar di jawa untuk pembangunan jalan di Kaltim. lebih-lebih porsi pembangunan jalan sebagian besar di jawa, di Indonesia timur masih sedikit.
Karena itulah, untuk menjembatani jarak antara pemerintah pusat dan daerah, kita perlu pemimpin yang bisa memahami apa masalah dan peluang daerah, terutama di era otonomi ini. Kita tidak bisa mengandalkan pemimpin yang memahami konteks nasional saja, kita perlu pemimpin yang bisa memahami problem daerah sekaligus nasional, karena daerah adalah bagian dari nasion itu sendiri.
Dan utama semenjak sentral nya isu IKN Nusantara dan strategi Kaltim pasca sumber daya alam migas dan tambang batubara habis, kita perlu pemimpin yang mampu menjawab dan memberikan solusi bagi Kaltim untuk menghadapi tantangan SDM dan infrastruktur Kaltim menghadapi IKN dan tantangan ketika terjadi perubahan pola ekonomi dari mengandalkan sumber daya alam ke sektor jasa dan industri untuk memberikan efek kesejahteraan jangka panjang ke masyarakat.